Doctor Strange – Visualizing the Fantastic New York

Doctor Strange tidak hanya mengisahkan tokoh supernatural dari Marvel Cinematic Universe tetapi juga sebuah visual yang luar biasa. Film Marvel yang meraup lebih dari 660 juta USD sebagai Box Office ini bahkan terpilih dalam nominasi visual effects pada Oscar 2017. Sebagai penanggung jawab VFX dalam Doctor Strange, studio The Third Floor sukses memukau para penonton dengan tampilan visualnya.

(Illustrasi Tokoh Doctor Strange)

Supervisor previs dan postvis Faraz Hameed sendiri telah terpilih sebagai nominasi untuk kategori virtual cinematography pada VES Award beberapa waktu lalu. Beliau memimpin 35 VFX artist dalam menangani berbagai shot kompleks pada film berdurasi lebih dari tiga jam itu, termasuk sequence Mirror Dimension, Magical Mystery Tour, Sanctum Attack, London Alley, Church Transformation and Hong Kong.

Hameed dan timnya datang sejak awal produksi film, dimulai dengan enam bulan pengerjaan previs di Los Angeles dan 10 bulan di London dilanjutkan dengan enam bulan pengerjaan postvis di tempat yang sama. Seperti yang Hameed katakan “Ketika kami mulai, bagian produksi baru dalam pengerjaan palet warna untuk film. Director Scott Derrickson dan vfx supervisor Stephane Ceretti sempat berpikir menggunakan fractal sebagai salah satu opsi story telling-nya. Ini merupakan kesempatan yang menarik untuk bisa menggabungkan storytelling dan live action“.

(Salah satu Previs yang dibuat oleh Studio The Third Floor)

Ceretti dan visual effect producer Susan Pickett meminta Hameed dan timnya untuk bekerja lebih dekat dengan bagian produksi untuk memastikan previs sesuai dengan apa yang setiap departemen inginkan. Menurut Hameed, Stephane dan Susan sangat mendukung jalinan kerja sama ini. “Kami juga berdiskusi untuk memastikan setiap shot dapat direalisasikan dengan baik. Ini membuka kesempatan kami untuk bekerja lebih cepat dan bereaksi terhadap setiap tantangan yang datang”.

Hameed juga memberikan penjelasan terkait kolaborasi yang ia lakukan bersama tim, “Untuk menyelesaikan adegan action dan vfx dalam cerita, kami berkesempatan untuk bekerja sama dengan setiap departemen secara visual. Ini juga termasuk berkolaborasi dengan para desainer produksi dan departemen properti untuk dekorasi setiap scene. Kami juga bekerja sama dengan stunt team untuk membuat adegan action yang kompleks. Kami mengkoordinasi equipment dan rigs yang dipakai untuk visual effect bersama departemen VFX, agar hasilnya sesuai dengan DoP. Dari sana kami bekerja dengan editorial dalam menggunakan previs dan postvis sebagai acuan desain”.

(Pengaplikasian Escher Design dalam previs untuk Doctor Strange)

Marvel dikenal sebagai pengguna VFX berskala besar, untuk mengandalkan previs, techvis dan postvis merupakan langkah kreatif yang harus dilakukan. Proses development visual, brainstorming, eksplorasi angle kamera dan concept design pada akhirnya menghasilkan sebuah film yang bisa kami banggakan. Studio Third Floor bisa dibilang punya andil besar dalam setiap proses pengerjaan film ini. “Research & Development merupakan metode ampuh bagi Marvel untuk mendorong kreatifitas dalam mengembangkan setiap scene yang kompleks”. “Saya sangat terkesan dengan proses kerja kami ini. Kami berhasil mendapatkan tone yang sesuai untuk film bahkan sebelum syuting dimulai”.

(Previs Bending kota New York)

Dalam membuat previs kami mulai dengan pengembangan tampilan dan desain. “Dari awal kami melakukan brainstorming bersama departemen art dalam sebuah sandbox”. “Saya pikir ini bagus karena kami punya cukup waktu untuk mengeksplorasi setiap bagian dalam film” Charlie Wood dan tim nya di departemen art bekerja dengan sangat luar biasa dalam mengeksplorasi bagian-bagian dalam film”, kata Hameed. Previs artist bekerja dengan director dalam berbagai aspek di awal mula development, salah satunya seperti mengintegrasikan ilmu matematika di dalamnya. Metode storytelling menggunakan Escher Design membantu kami dalam menentukan alur cerita, pendekatan teknis dan bagian action yang penting. “Scott memberikan kami banyak refensi visual yang menarik baik dari gambar, film bahkan rumus matematika. Ini merupakan saat yang penting karena tone memainkan peranan penting dari tampilan visual Doctor Strange. Proses R&D memungkinkan kami untuk melebur ide cerita pada setiap previs yang kami buat. Briefnya sederhana, yakni untuk membuat sesuatu yang belum disaksikan penonton sebelumnya di bioskop. Desain-nya sendiri mengambil konsep Escher Design untuk mendorong berbagai batasan pada tampilan visual. “Kami ingin membuat para penonton takjub saat menonton-nya di bioskop”, ungkap Hameed.

(Previs (atas) dan Final shot (bawah))

Tim previs akan menerima brief dari director berupa outline plot dan event yang dia dan producer inginkan ada dalam film. Hameed mengingat “Scoot sangat terbuka pada setiap ide, dia cepat menyadari bahwa previs adalah alat baginya untuk mengekplorasi dan meneliti setiap shot dalam film. Semakin kita maju, dia semakin percaya diri dengan hasil yang telah kami capai. Tim yang dipimpin oleh Charlie benar-benar membantu kami dalam membuat visual yang bagus. “Bagaimanapun juga dia sempat menjelaskan kepada kami tentang tantangan dalam membuat adegan 3D dari sebuah previs 2D karena tidak semua bentuk 2D dapat di translasi kedalam 3D dengan baik”. Beberapa dari kami harus bepikir keras untuk merealisasikan beberapa ide dalam bentuk 3D, walaupun sulit tapi ini sangat menyenangkan, terlebih setelah kita melihat hasil akhirnya, apalagi shoot dimana kami menggunakan Escher Design untuk merubah perspektif kota New York.

Salah satu kesulitan teknis yang kami alami adalah ketika membuat sebuah volume besar yang konsisten untuk bentuk-bentuk fractal. Pertama kali dikerjakan di Maya dan mendapat problem yang tidak mudah. Ketika kami berhasil membuatnya, kami menyadari bahwa hal ini terlalu lambat. Setiap hari Kami selalu berusaha menyelesaikan shot sebanyak mungkin. Dengan metode prosedural, fractal yang kami buat terkadang terlalu random untuk digunakan, sehingga sulit bagi kami untuk merubah bentuknya agar lebih artistik. Lalu, apa yang kami lakukan? Kami membuat geometri menyerupai bentuk fractal, dan ini dapat bekerja dengan sangat baik. Dari situ, setiap shot-nya dibuat manual secara manual.

(contoh shoot by shoot techvis buatan studio The Third Floor)

Penggunaan previs yang sangat besar membuat kami membutuhkan techvis yang besar pula. Tim dari The Thrid Floor membuat techvis untuk semua adegan dalam film karena kompleksitas tiap scene-nya. Techvis berguna untuk merencanakan berbagai metode yang ingin kami aplikasikan kedalam visual film bersamaan dengan adegan live action. Hameed juga menjelaskan “Setelah kami melakukan review pada setiap previs, terkadang kami mengadakan meeting lain untuk membicarakan shot – shot yang kompleks, seperti kota New York yang dibentuk seperti puzzle”. Ada banyak diskusi dan perencanaan untuk mengambil shot di kota New York. Haruskah kami menggunakan crane untuk rig motion control-nya? Apakah ini unit pertama atau unit kedua? Apakah ini akan di shot di New York atau di studio? Apakah bagian ini akan di shot dari atas kebawah atau sebaliknya?.

Techvis artist akan membuat skema detail tampak atas, samping dan depan dari sebuah shot. Menurut Hameed, “Scene Hong Kong di ambil pada saat malam hari dan udara dingin membutuhkan perencanaan techvis yang detail. Ini sangat sulit, karena kami harus mengambil banyak shot techvis dengan benar. Tentu saja setiap shot harus diambil dengan benar tapi disini kami mencoba menyeleraskan previs, pitchvis, techvis dan postvis dalam satu editorial, ini benar – benar tantangan yang besar, tapi kami berhasil melakukan-nya!”

(previs)

(live action shooting)

(postvis, dengan compositing dan rotoscoping shoot live action)

(Final Shot by ILM)

Untuk memvisualisasikan transformasi pada Doctor Strange merupakan sebuah tantangan tersendiri kata Hameed. “Untuk scene seperti Magical Mystery Tour, tubuh Doctor Strange harus terdistorsi agar dapat berinteraksi dengan environment, kami melakukan eksperimen dengan deformer, partikel, simulasi dan dynamics dengan resource yang disediakan oleh studio the Thrid Floor. Sequence ini membutuhkan waktu 6 bulan pengerjaan dengan bantuan co-visual effect supervisor Chris Shaw yang memberikan kami informasi tentang data kamera.

Sequence kota Hong Kong juga unik, kami membuat VFX dengan berbagai macam test untuk adegan action maju mundur-nya baik pada saat techvis maupun shooting. Pada waktu shooting, kami menyadari bahwa kami harus mengambil shot adegan yang sama dua kali tapi dengan alur yang berbeda, satu forward satu lagi backward, Crew shooting kami melakukan itu semua dengan sempurna.

Studio Thrid Floor juga membuat alur kerja postvis yang sangat fleksibel. Menurut Hameed proses penyatuan hasil shooting, tracking, rotoscoping, comping dan penyatuan previs kedalamnya dapat dilakukan dengan cepat. Bagi kami shot postvis dapat dikerjakan dalam satu hingga dua hari, yang mana untuk pekerjaan VFX adalah cepat. Kami bisa melakukan itu semua karena punya tim yang mampu disegala bidang seperti animasi, vfx, tracking, rotoscoping dan compositing.

(previs adegan action di kota Hong Kong)

Tim Hameed juga akan melakukan review terhadapt setiap pekerjaan postvis dengan VFX, editorial bersama director dan executives film. “Apa yang berbeda dari biasanya adalah model-model postvis untuk dipakai pada film selanjutnya, rotoscoping dan coloring harus kami lakukan dengan benar-benar sempurna. Supervisor Compositing Theresa Rygiel turut membantu kami dalam mengatur pipeline color agar lebih akurat sesuai dengan previs dan postvis yang kami buat.