Ghost in the Shell – World of Cyber Enhancement

Ghost in the Shell adalah film action-science fiction yang disutradai oleh Rupert Sanders. Film ini merupakan seri live action dari sebuah manga Jepang karya Masamune Shirow. Kali ini Guillaume Rocheron sebagai VFX supervisor akan duduk bersama kita untuk bercerita tentang peranan-nya dalam pembuatan film.

Bagaimana anda bisa masuk kedalam pembuatan film ini ?

Saya bertemu dengan director Rupert Sanders dipertengahan tahun 2015 setelah menerima undangan dia untuk membicarakan sebuah project film baru. Pada saat itu saya tidak punya informasi apa-apa tentang serial Ghost in the Shell. Kami berbua berbicara tentang banyak hal terutama bagian visual effect yang akan digunakan dalam film. Dari sanalah saya bertemu dengan VFX producer Fiona Campbell Westgate yang pada saat itu sudah memulai project lebih dahulu. Bersama Rupert, Jan Roelfs (production designer) dan Jess Hall (director of photography) kami memulai project dengan membuat dunia Ghost in the Shell.

Bagaimana kolaborasi anda dengan director Rupert Sanders?

Luar biasa, Rupert tidak hanya seorang mengerti tentang VFX, beliau juga mengumpulkan berbagai referensi dang melakukan kurasi pada berbagai media kreatif. Saya pikir dia adalah visual communicator yang handal.

Bagaimana cara beliau dalam mengembangkan visual effect untuk Ghost in the Shell?

Rupert telah menghabiskan banyak waktu untuk merencanakan pembuatan GITS dan melakukan kurasi untuk banyak gambar referensi. Beliau ingin membuat dunia yang memiliki kesan tactile. Untuk mencapai visi-nya ini, kami menggunakan banyak sekali lokasi di dunia nyata dan animatronics untuk setiap shoot yang akan dibuat secara digital. Saya pikir kombinasi teknis seperti ini sangat membatu dalam membentuk style visual Ghost in the Shell.

(Director Rupert Sanders dalam proses syuting GITS di New Zealand)

Bagaimana kolaborasi anda dengan VFX legend John Dykstra dalam film ini?

Bisa bekerja sama dengan John merupakan kebanggaan tersendiri. John datang di bulan terakhir pada saat kami sedang merancang jadwal post produksi. Beliau membantu kami memecah pekerjaan post sehingga saya bisa punya waktu lebih banyak dengan studio saya di Montreal untuk memfasilitasi beberapa bagian kreatif yang membutuhkan banyak waktu untuk dikerjakan.

Bagaimana anda mengorganisir pekerjaan dengan VFX producer Fiona Westgate Campbell?

Fiona dan saya menghabiskan cukup waktu untuk memahami pengerjaan film ini. Menjaga keseimbangan dengan apa yang bisa kami kerjaan dan waktu yang tersedia. Untuk bagian yang dibuat secara digital kadang kita harus berpikir out of the box agar bisa mengerjakannya dengan efektif. Timeline post produksi kami sebenarnya sangat pendek untuk film sebesar GITS, mengingat desain dan konsep yang telah dibuat sangat banyak. Studio MPC yang memfasilitasi sebagian besar VFX shot juga mengundang Ash Thorp dan Territory Studios untuk secara eksklusif mengerjakan Sologram advertising yang ada dalam film. Disaat yang bersamaan, kami punya art departmen dari MPC yang dikepalai oleh Ravi Bansal dan Loc Zimmerman untuk mendesain setiap key shot dan tampilan kota.

Bagimana perasaan anda saat mengerjakan sebuah adaptasi dari anime yang sangat digemari?

GITS merupakan bagian besar dalam edukasi saya, sehingga saya merasa sangat senang dalam membuat tampilan visual untuk film ini. Di Prancis, generasi 80 dan 90 mendapatkan banyak sekali pengaruh film anime jepang. Untuk beberapa tahun stasiun televisi kami dipenuhi film-film anime.

Bagaimana proses pengerjaan shooting dan pre production-nya?

Mendesain dan shooting sebuah film layar lebar sangat menarik karena kami bertujuan untuk membuat dunia yang imajinatif. Pre produksi secara umum kami bagi menjadi review previs dan boards, meeting dengan para pemimpin setiap departmen untuk mendiskusikan cara terbaik dalam membuat shoot per scene-nya. Kami memiliki 75 hari untuk shooting di New Zealand dan 10 hari di Hong Kong, yang mana sangat pendek dan intense. Bew Brown dari MPC membantu saya sebagai 2nd unit untuk beberapa shoot VFX yang spesifik, terutama shoot-shoot yang tidak sempat ditangani oleh unit pertama. Hal ini terjadi karena Rupert menginginkan kami untuk menggunakan banyak sekali fotografi sebagai starting point. Sebisa mungkin saya mencoba untuk menghindari green screen. Ada banyak shoot eksterior yang kami ambil dari jalanan kota Hong Kong, walaupun tidak semuanya kami pakai, tapi material-material itu memberikan ruang kami sebagai referensi untuk mendapatkan kesan otentik dari sebuah kota.

Bagaimana anda membagi pekerjaan dengan MPC dan vendor lainnya?

MPC merupakan vendor utama, dengan Axel Bonami dan Arundi Asregadoo sebagai VFX supervisor. Saya kenal mereka berdua sudah sejak lama. Teritory Studio dan Ash Thorp kami pilih untuk membuat 3d asset untuk advert sologram dalam film. Kami membentuk tim dari MPC Design untuk memvisualisasikan interface technology, hologlobe communication dan beberapa hologram rumit untuk Major dan Kuze selama film berlangsung. Kami juga memberika tugas kepada Atomic Fiction, Framestone, Method Studios dan Blacksmith untuk beberapa sequence.

Bagaimana anda bekerja dengan VFX supervisor mereka?

Kami membuat review harian lewat cineSync untuk sebagian besar tugas, setengahnya lagi kami lakukan secara face to face di Montreal. Kami ingin mendapatkan feedback dengan lebih cepat secara berkala, karena setiap harinya kami selalu berurusan dengan berbagai masalah kreatif. Untungnya masing-masing dari kami dapat fokus sehingga akhirnya bisa menyelesaikan film sesuai jadwal.

Bisakah anda menceritakan bagaimana proses pengerjaan previs kalian?

Kami punya tim previs kecil beranggotakan 5 orang di New Zealand, dipimpin oleh David Scott. Kami mulai mengerjakan previs 3 bulan sebelum shooting dimulai. Dari awal kami sudah punya bayangan bagaimana film akan ditampilkan di layar lebar. David dan timnya bahkan membuat beberapa sequence yang kompleks menjadi lebih menarik, seperti di sequence Deep Dive dan Tank Battle.

Bagimana kolaborasi anda dengan Weta Workshop? Khusunya untuk pembuatan kerangka robot dan properti lainnya?

Untuk hal ini, kami bekerja sama dengan Richard Taylor dan timnya di Weta. Mereka punya banyak talenta dan sangat kolaboratif, Shelling Sequence di awal film merupakan contoh kolaborasi yang seimbang antara practical dan digital effects. Mengikuti cara yang sama, kami menggunakan animatronics dan topeng untuk robot Geisha yang ada di hotel, versi CG robot tersebut baru akan digunakan untuk gerakan yang lebih kompleks. Weta juga membuat miniatur untuk berbagai gedung pencakar langit yang kami gunakan untuk membuat prototype.

Bisakah anda menjelaskan detail tentang pembuatan opening sequence Ghost in the Shell yang ikonik ?

Rob Gilles, selaku workshop supervisor di Weta dan saya menghabiskan waktu setidaknya 10 hari untuk mempersiapkan semua element yang telah kami buat untuk sequence ini. Dari awal kami dengan seksama memperhatikan Shelling sequence dari film originalnya, untuk menemukan keseimbangan antara puppet, animatronics dan CG. Pada akhirnya kami membuat rangka berukuran 1:1 dan 1.5:1. Untuk backgroud-nya kami buat secara digital termasuk adegan di bawah air. Seiring berjalannya shot, transformasi pada robot akan tampil semakin organik. MPC kami tugaskan untuk membuat semua shot CG-nya, kecuali untuk shot dimana kami menggunakan mannequien 1:1 untuk ditenggelamkan kedalam sebuah cairan tebal yang dibuat dengan special effect dan kami shoot menggunakan kamera 300fps dari Fantom berukuran 4k.

Bisakah anda menjelaskan tentang cyber enhancement untuk tokoh Major, Kuze dan Geisha?

Tokoh utama cyber enhancement kami adalah Kuze, karena dia merupakan versi Major sebelumnya yang tidak sempurna. Kami membuat tokoh Kuze secara hybrid antara live action dan CG. Sarah Rubano sebagai supervisor prosthetic, medesain beberapa bentuk panel bergaris untuk bagian wajah  dan dadanya, sisanya kami buat dengan CG dai di render sesuai adegan aktor Michael Pitt di layar kaca. Kuze merupakan karakter yang sangat menantang untuk dibuat, karena kami harus menjaga transisi antara bentuk CG dan live action-nya. Pada akhirnya, saya yakin para penonton tidak bisa membedakan mana Kuze yang asli dan CG.

Ada banyak sekali sequence slow motion dalam film, apa pengaruhnya terhadap film secara umum?

Kami merekam slow motion menggunakan kamera Phantom 4k di 300fps, khususnya untuk adegan fighting di atas air. Kami ingin agar sequence tersebut dibuat seperti adegan balet di atas air. Dengan kecepatan seperti itu, kami tidak hanya membutuhkan gerakan air yang kompleks namun juga simulasi dan rendering air yang realistis.

Bisakah anda menjelaskan tentang beberapa flyover shoot dalam film?

Kami menyebut hal itu sebagai Ghost cams. Rupert dan Jess Hall selaku DoP punya ide untuk menggunakan kamera yang melayang di atas jalanan untuk memberikan kesan lebih kepada audience tentang suasana kota dalam film. Totalnya ada 5 flyover shoot dalam film. Saya memimpin pembuatan previs kelima shoot tersebut menggunakan gambar dari Google Map dan bangunan sederhana sebagai asset. Dalam produksi-nya, semua shoot tersebut dibuat dengan CG dengan bantuan transisi green screen pada bagian karakter. Sebagai permulaan, kami memakai bantuan foto sebagai acuan bentuk 2.5D dan 3Dnya. Tantangan berikutnya adalah bagaimana membuat populasi penduduk,  peletakan ratusan sologram, mobil dan bangunan futuristik. Ghost cam yang pertama berdurasi sekitar satu setengah menit merupakan shot yang dimulai paling awal dan baru selesai di saat terakhir.

Apakah anda memiliki referensi yang spesifik untuk kota dan hologramnya?

Rupert telah membuat konsep untuk sologram, yakni dengan sebuah volumetric projection berukuran raksasa. Tidak seperti hologram yang kita tahu, sologram berbentuk seperti objek pada aslinya. Menemukan cara untuk membuat sologram tersebut merupakan salah satu tantangan kita. Kami punya dua cara untuk membuatnya, yakni dengan bantuan CG ataupun dengan kamera. Pada akhirnya kedua metode tersebut tidak dapat kami lakukan karena jumlah dan skalanya yang terlalu besar. Dayton Taylor dari Digital Air memiliki ide untuk membuat sebuah sistem kamera yang mengizinkan kami untuk mengambil shoot aktor sologram dan membuat replikanya dalam bentuk 3d. Jumlah kamera yang kami gunakan ada 80 buah dengan 24 fps. Setiap sequence kurang lebih menghasilkan 30.000 gambar 3d yang akan MPC gunakan untuk merekonstruksi gerakan aktor. Dari situ kemudian kami membuat sebuah fitur yang memungkinkan kami untuk merubah gambar-gambar menjadi voxel. Voxel ini kami gunakan untuk membuat manipulasi-manipulasi sederhana pada asset-asset gambar yang kami miliki.

(Tampilan kota Neo Tokyo dengan berbagai Sologram)

Shoot mana yang paling anda suka?

Saya suka shoot dimana Major melakukan navigasi kedalam memory robot Geisha, karena disana kami menunjukkan bentuk visual memory yang saya pikir sangat menarik.

Menurut anda, sequence mana yang paling sulit untuk dibuat? Dan kenapa?

Saya pikir, membuat dunia GITS secara keseluran merupakan yang paling sulit, baik dari segi teknis maupun kreatif, terutama pada bagian sologram. Adegan action diatas air juga merupakan sequence yang sulit untuk dibuat karena koreografi yang dilakukan dengan kecepatan tinggi. Sequence Deep Dive juga sulit dibuat secara konsep, kami harus melewati banyak versi untuk menemukan visual yang menurut kami paling menarik.

Apa tantangan utama yang anda hadapai di film ini ? dan bagaimana anda melewatinya?

Bagi saya, tantangan terbesar ada pada pengerjaan VFX dibagian post produksi. Dunia fantasi yang kami buat dengan segala bentuk sologram merupakan kunci utama untuk merepresentasikan dunia cyber enhancement dalam film. Di setiap shot, disetiap iklan disudut kota kami mendesainnya dengan sangat hati-hati dan spesifik… dan jumlahnya ada ratusan.

Apakah ada shoot yang menghalangi anda untuk tidur?

Secara umum tidak ada

Adakah memori yang berkesan bagi anda pada saat mengerjaan film ini?

Ketika MPC menunjukan kepada kami semua proses,animasi dan rekonstruksi sologram dalam sebuah shot. Kami pikir itu sangat riskan, dengan membuat teknologi baru untuk menghasilkan sebuah hal yang unik. Setelah berbulan-bulan kami mengerjakan hal ini, pada akhirnya membuahkan hasil, kami semua sangat bangga.

Sudah berapa lama anda mengerjakan film ini?

20 bulan

Terima Kasih atas waktu dan kesempatannya.

 

source