How War For The Planet Of The Apes Turned a Visual Effect Into a Reluctant Hero

War for the Planet of the Apes merupakan sekuel dari Rise of the Planet of the Apes (2011) dan Dawn of the Planet of the Apes (2014). Film ber-genre science-fiction tersebut disutradai oleh Matt Reeves dan ditulis oleh Mark Bomback dan Reeves.

Tidak disangka War for the Planet of the Apes  tersebut menuai kritik positif dibandingkan sekuel keduanya, Dawn of the Planet of the Apes. Kesuksesan tersebut tentunya berkat cerita menarik, visual effect yang menakjubkan, beserta arahan dari sutradara.

Kali ini, kita akan mengulas seluk beluk kesuksesan War for the Planet of the Apes melalui wawancara dari Senior Visual Effects Supervisor film tersebut, Joe Letteri.

Anda bekerja dengan Matt Reeves pada film sebelumnya, Dawn of the Planet of the Apes, tapi film ini memiliki arah baru yang impresif untuk efeknya. Ketika anda duduk membicarakan War, apa yang menjadi mandat kreatifnya?

Saya berpikir apa yang dikejar oleh Matt kali ini lebih mengarah pada suasana Exodus. Ini adalah sebuah cerita dimana dia ingin membawa Caesar, dan kita semua, keluar dari dimana kita telah nyaman sebelumnya. Kembali ke Rise, ini adalah cerita mengenai seorang karakter yang tidak mau memihak di dunia manusia dank era. Caesar bertumbuh dalam rumah tangga manusia, dan dia berpikir bahwa dia seorang manusia, sampai dunia terganggu dan mengatakan,

Sekarang kamu tidak bisa hidup dengan manusia.”

Mereka mengirim dia ke dunia kera, dan tiba-tiba dia harus mencari identitas lainnya.

Tetapi sepanjang dua film awal, manusia mulai semakin terganggu karena ketakutan pada apa yang akan terjadi ketika kera-kera semakin pintar. Caesar selalu berusaha untuk melihat dua sisi dari konflik tersebut beserta membawa perdamaian. Pada film ketiga, Matt ingin Caesar merasakan kemarahan yang ditahan selama ini.

Jadi, dia mendapati dirinya menjadi emosional secara mendalam untuk mencari tahu jati dirinya, dan apa yang harus dia lakukan untuk menjaga hidup sukunya. Itu adalah inti dari cerita film ini. Faktanya, Matt ingin pergi  lebih jauh dari peradaban, melakukan syuting di hutan belantara kanada, tempat yang memiliki pemandangan bersalju, beserta pemandangan menakjubkan. Syuting di tempat-tempat yang memerlukan kerja teknikal yang tinggi sangatlah sulit. Kami melakukan semua itu demi menceritakan cerita ini.

Inti teknik dari pembuatan makhluk-makhluk ini adalah merekam performa dan ketika semuanya telah melihat gambar dari aktor-aktor dengan kostum aneh, sangatlah mudah untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Terdapat shot indah dimana Caesar dan kera lainnya berkuda di pantai. Bisakah anda jelaskan pembuatan shot tersebut?

Untuk shot seperti itu, para aktor menaiki kuda. Biasanya ketika anda melakukan sesuatu yang berbasis kinerja, kami melakukan performance capture, dimana kami memasang banyak kamera spesial yang dipasang di sekitar tempat syuting untuk merekam gerakan dari setiap sudut.

Para aktor mengenakan helm dengan rig kepala dan kamera kecil yang dipasang di depan muka mereka. Kami menggunakan informasi tersebut untuk mengkonstruksi gerakan badan dari kera dan gerakan dari muka kera. Kami harus melakukan tracking pada kuda-kuda di tempat, karena semua yang kami lakukan harus sesuai dalam apa yang terjadi di depan kamera dalam dunia nyata.

Jadi kami harus tahu dengan tepat dimana kuda-kuda berada, dimana bagian badannya di setiap frame, karena kami harus merekonstruksi ulang hal-hal tersebut agar dapat melukis keluar para aktor, dan menaruh para kera ke atas kuda. Beberapa di antaranya diselesaikan dengan lukisan tangan.

Beberapa diantaranya dilakukan dengan kuda CGI yang sepenuhnya atau sebagian direkonstruksi ulang untuk disesuaikan di bawah para kera, karena anda memiliki bentuk tubuh yang berbeda. Kera dan manusia memang mirip, tetapi tidak cukup mirip. Jadi, banyak yang harus dikonstruksi ulang untuk membuatnya terlihat nyata.

Kami harus menghitung semua lighting di dunia nyata. Apakah cahaya matahari datang dari awan atau dipantul oleh pasir atau air, atau terdapat cahaya buatan yang ditambahkan. Sequence yang di-shot dengan cahaya alami. Tetapi kami harus kerjakan apa yang biasa anda lakukan dalam sinematografi, menyesuaikan gerakan kamera, kemudian kami memulai ronde intens dari penghitungan untuk menjalankan semuanya melalui computer dan memastikan semua melakukan hal yang benar, seperti fur yang disimulasi dengan benar.

Cahaya yang terpantul di dunia virtual sesuai dengan cahaya yang terpantul di dunia nyata, jadi kami dapat mengkomposisi semua elemen menjadi satu. Setelah anda melakukannya, anda akan keluar dengan shot anda pada akhirnya.

Apa yang Matt kerjakan di lokasi syuting? Apakah dia membayangkan bagaimana para kera terlihat dalam komposisi, atau dia hanya bekerja dengan para aktor?

Hanya khawatir dengan para aktor. Hal yang sangat bagus dari film Apes ini adalah ukuran manusia dank era yang kurang lebih sama, jadi kami dapat menyusun mereka seperlunya. Anda tidak perlu mevisualisasikan untuk membayangkannya. Operator kamera dapat berkonsentrasi pada gerakan para aktor, karena apa yang mereka shoot akan persis dengan apa yang terjadi dalam film untuk framing. Hal ini jugalah bagus untuk para editor, karena mereka tahu secara tepat apa yang aktor-aktor lakukan untuk mengerjakan cut mereka.

Bagaimana proses performance capture berkembang sejak anda bekerja untuk film ini?

Terobosan besar datang dari Rise of the Planet of the Apes ketika kami memecahkan bagaimana mengerjakan hal ini secara langsung, dan berdampingan dengan sisa dari fotografi motion picture. Sampai saat ini, performance capture biasanya menjadi proses after-the-fact. Andy akan pergi keluar dan melakukan scene-nya di lokasi syuting, seperti ketika kami melakukan Gollum dan memilih apapun yang kami suka, dia akan kembali dan melakukannya di tempat yang berbeda ( area motion capture ). Jadi kemampuan untuk menangkap performa tersebut bersamaan dengan aktor lainnya merupakan hal yang kami  dorong untuk Rise.

Setelah anda memiliki kebebasan tersebut, anda ingin membawanya lebih jauh. Dan itu adalah momen dimana Matt benar-benar mendorong ini. Pada Dawn, pergi ke hutan belantara, dalam hujan, sedikit jauh dari peradaban. Kemudian pada War, benar-benar jauh dari peradaban. Keras, basah dan kondisi dingin.

Terdapat juga terobosan dari segi teknikal, tapi hal-hal tersebut berada di behind the scenes. Mereka harus mencari cara lebih baik untuk menyambungkan system dan mengkalibrasikannya, dan menaruh semua wireless menjadi satu untuk memastikan semua data datang tanpa dropouts. Tetapi aspek fundamental dari bagaimana caranya bekerja secara dasar masih sama. Anda hanya mencoba untuk mereka setiap sudut yang memungkinkan pada apa yang aktor-aktor lakukan supaya dapat direkonstruksi kembali nantinya.

Fur dari karakter-karakter ini tidak ditaruh bersama menggunakan tangan untuk setiap frame-nya. Anda juga menggunakan simulasi computer yang intens yang menentukan bagaimana fur tersebut bergerak. Tapi anda juga menaruh Caesar dalam kondisi ekstrim seperti salju dan hujan. Bagaimana hal tersebut menyulitkan proses?

Fur sangatlah rumit. Anda memiliki jutaan fiber kecil yang harus bereaksi dengan gravitasi, mereka sendiri dan semua lighting. Terdapat banyak simulasi yang terjadi. Jadi ketika mereka basah, air membasahi fur tersebut, dan hal tersebut menambah lapisan kerumitan. Ketika mereka berguling di salju, atau salju mulai berakumulasi, fur tersebut semakin rumit, karena salju bertumpuk di atas fur. Anda pikir anda mengerti fisika, sekarang hal tersebut semakin sulit dengan menambahkan icy packs yang secara konstan berevolusi, mengelupas dan jatuh.

Kami harus menjalankan level extra dari simulasi untuk untuk membuat semua kerjaan tersebut. Ditambah lagi, salju memiliki cara untuk mempengaruhi lighting pada fur, dan semua itu harus dikomputasi juga. Jadi iya, kami banyak melakukan simulasi fisik, dan juga light transport, untuk mendapatkan gerakan yang benar beserta fotografi yang benar.

Apakah itu memerlukan penggarapan software terbaru?

Beberapa tahun lalu, kami mulai membuat renderer kami sendiri, yang kami sebut sebagai “Manuka”. Software tersebut mengkomputasi semua lighting yang ada dalam scene, semua karakteristik permukaan, memantulkan semua cahaya ke sekitarnya, dan bagaimana gambarnya harus terlihat. Jadi “Manuka” adalah versi digital dari fotografi untuk scene anda.

Kami mulai menggunakannya pada Dawn, tapi karena masih baru, kami tidak menggunakannya untuk close-ups. Kami hanya menggunakannya untuk background characters, karena “Manuka” cocok untuk menangani scene besar yang memiliki jumlah fur yang banyak. Tapi pada film ini, akhirnya kami mendorongnya lebih jauh, dan cukup tangguh untuk melakukan semua close-up menggunakannya. Jadi saya pikir anda akan melihat perbedaann close-ups di film ini dengan apa yang anda lihat pada Dawn.

Terdapat sebuah shot dimana Maurice melihat anak perempuan (Amiah Miller) yang sangat realistic, shot tersebut menabrak saya keluar dari film sejenak, hanya untuk memeriksa diri sendiri. Tapi terdapat banyak kerjaan nuanced performance untuk Caesar.

Sejak awal, kembali ke Rise, kami tahu kera-kera akan sepenuhnya dikerjakan secara digital. Kami tidak terpikir sama sekali untuk menggunakan prostetik, karena secara keseluruhan cerita, mereka harus terlihat realistik, jadi anda akan percaya ketika mereka berevolusi. Jadi kombinasinya susudah selalu seperti sebelumnya, anda memiliki performa aktor, tetapi yang anda lihat di layar sepenuhnya digital. Drama emosional sudah ada disana. Itu diberikan oleh Andy; itu diberikan oleh aktor lainnya.

Kami akan ikut serta ketika ada beberapa hal yang tidak bisa ditangkap, atau perlu diatur karena perbedaan dalam kera-kera. Sekeras apapun para aktor berlatih untuk melakukan gerakan kera yang layak, dan tingkah lakunya, masih terdapat perbedaan. Kaki manusia lebih panjang dari kaki kera, dan tangannya lebih pendek. Jadi terdapat sedikit penyesuaian. Anda turunkan pahanya sedikit, supaya bsia mendapatkan kaki yang lebih panjang, yang berarti bahunya berada di posisi yang berbeda, tapi anda harus menyesuaikan kembali kepalanya ke tempat asal, agar eyeline sesuai dan sikapnya pas. Juga sebagai animator, terdapat beberapa hal yang kami lakukan supaya anda tidak memikirkan perbedaan manusia dan kera.

Matt Reeves menuturkan bahwa dia ingin film ini berasa seperti film lama yang epik, atau film David Lean. Salah satu cara dia mendapatkan suasana tersebut adalah shooting menggunakan 65mm film. Bagaimana hal tersebut mempengaruhi pekerjaan anda dalam sisi visual efek.

Seperti setiap hal yang layak untuk dilakukan. Terdapat kerja tambahan yang terlibat. Formatnya hebat, widescreen, tetapi memiliki depth of field yang dangkal, dan itu indah untuk fotografi. Hal tersebut memang bagus untuk memisahkan setiap karakter, dan di antara foreground dan background. 65mm film memiliki kualitas film yang luar biasa, tetapi ketika anda berhadapan dengan melukis aktor keluar dan mengganti mereka dengan karakter digital, semakin keras usaha dalam mengerjakannya, semakin bagus.

Teknologi selalu menginginkan anda untuk mendapatkan hal-hal yang lebih simple, karena hal tersebut membuat hidup lebih gampang. Tetapi kreativitas menginginkan anda untuk memiliki hal yang lebih kompleks. Dan kreativitas selalu menang. Seperti kami akan memikirkan teknologinya jika itu yang Matt inginkan bagaimana filmnya terlihat, dan itu pastinya apa yang ada di dalam pikiran dia.

Twentieth Century Fox’s “War for the Planet of the Apes.”

Jadi maksud anda mengenai depth of field yang dangkal membuat melukis keluar aktor lebih susah di shot karena mereka mungkin keluar dari fokus?

Betul. Seperti yang anda bicarakan sebelumnya, aktor di atas kuda. Bayangkan anda memiliki sejumlah aktor di atas kuda, dan anda haru melukis keluar kaki aktor untuk diganti menjadi kaki kera di atas kuda. Sekarang kaki para aktor lebih panjang, jadi pastinya selalu ada bagian dari kuda yang harus dilukis kembali dan di-track back. Jadi, jika hal ini ada dalam background, dan bagian kecil tersebut keluar dari fokus – well, bagaimana anda tahu secara tepat bahwa track anda bekerja pada bagian kuda digital yang anda masukkan? Karena mereka harus menyesuaikannya dari rambut ke rambut. Jadi anda tidak bisa melihatnya melalui frame. Anda harus memainkannya kembali gerakannya dan menggunakan penilaian anda sendiri.

Bagaimana dengan environments? Apakah ada tantangan tertentu?

Ya, salah satu hal yang kami lakukan dalam film adalah, kami menanam hutan pinus di belakang benteng (dimana klimaks dari film tersebut terjadi). Di masa lalu, kami membuat banyak hutan, dan pohon dengan berbagai macam jenis. Modelers harus membuat sebuah pohon dengan tangan, dan proses tersebut sangat memakan waktu. Dan ketika anda mengarahkan art mereka untuk mencoba mendapatkan layout secara keseluruhan terlihat natural.

Apa yang terjadi dengan pohon-pohon adalah, mereka tidak tumbuh secara terpencil. Mereka bertumbuh dalam grup, dan pohon dengan spesies yang sama akan memberikan jumlah perbedaan yang tak terhingga, tergantung bagaimana cara mereka tumbuh.

Jadi kami membuat sistem yang kami sebut “Totara”. Sekarang, daripada menumbuhkan pohon satu satu, kami menumbuhkan mereka dalam grup, supaya mereka dapat berkompetisi untuk resource. Pohon tua lebih menguasai dari yang kecil. Sinar matahari dan bayangan menentukan bagian mana yang mungkin mendapatkan ranting lebih banyak, dan sisi mana yang tidak. Hasil akhirnya, kami membuat lahan, kemudian kami sebar sejumlah biji di sekitarnya, dan kami memulai simulasi yang dapat menumbuhkan pohon setelah beberapa ratus tahun.

Ketika anda lihat hasilnya, anda akan mendapatkan sesuatu yang langsung terlihat natural, berkebalikan dengan sesuatu yang terlihat anda membuat hutan dengan pohon secara individual. Semoga saja hal itu tidak diperhatikan oleh orang, karena hutan tersebut harus terlihat natural, tetapi itu adalah cara baru untuk membuat environments.

Kerja keras Matt Reeves beserta kru-krunya tentu membuahkan hasil yang nikmat. Dengan budget sebesar $150 juta, film tersebut memasuki Box Office dan mendapatkan hasil sebesar $360.1 juta ($142.8 juta di US dan Kanada dan $217.3 juta didapat dari pendapatan di luar kedua negara tersebut.

Hasil tersebutpun tidak dapat terjadi jika tidak ada kerja sama dan usaha antara sutradara, kameraman, penulis, animator, vfx artist, beserta kru lainnya yang turut serta menyelesaikan film tersebut.

Semoga saja wawancara ini dapat menginspirasi calon sutradara dan sebagai referensi di bidang visual efeknya.

Sumber