The Silkroad of Production – an Insight to Film Maker

Berbeda dengan di negara-negara maju, sistem pengerjaan sebuah serial tv di Indonesia tidak dalam bentuk paket (misalnya 13 atau 26 episode), akan tetapi biasanya episode satu adalah episode promo yang dibawa ke stasiun TV untuk di-‘jaja‘-kan. Setelah jam tayang diperoleh, barulah dibuat episode-episode selanjutnya sebanyak skenario yang tersedia. Karena ketersediaan materi penayangan sedikit, sementara penayangan berlangsung setiap hari, maka untuk memenuhi kebutuhan penayangan, kecepatan pengerjaannya pun harus lebih ditingkatkan agar dapat menjamin ketersediaan materi penayangan.

(Poster Sinetron Cinta Fitri yang sempat populer di Indonesia)

Defisit waktu akan selalu membayangi dalam cara kerja seperti ini dan pada akhirnya terjadilah kondisi terburuk dalam tahap pelaksanaan shooting; kejar tayang. Kondisi dimana orang dipaksa bekerja hanya berdasarkan intuisi semata, karena untuk berpikir sudah tidak ada waktu lebih, sebuah pekerjaan yang cukup menguras energi, melelahkan raga dan jiwa.

Keadaan yang sudah cukup ‘kritis’ ini masih akan diikuti pula oleh macam-macam hambatan  lainnya yang mampu menegangkan urat-urat syaraf para pelaksana shooting dilapangan, terutama dalam mengatur jadwal kerja. Penyusunan jadwal kerja adalah pekerjaan yang susah-susah gampang, sehingga pekerjaan ini harus ditangani oleh seseorang yang khusus berkonsentrasi penuh hanya bertugas mengatur jadwal kerja. Bisa dibayangkan bahwa kalau bidang pekerjaan itu bersentuhan langsung dengan kepentingan orang per orang, maka profesi ini menjadi profesi yang penuh dengan resiko pertentangan. Oleh karena itu seorang pengatur jadwal haruslah seorang yang tegas, cerdas, cepat mengambil keputusan dan di samping itu dia juga harus seorang yang berani.

(contoh prosesi syuting didalam ruangan)

Lalu apa yang menjadi sumber penyebab kondisi kejar tayang itu? Ada banyak hal yang bisa disebutkan sebagai faktor penyebabnya, tapi yang umumnya dirasakan adalah yang berkaitan dengan;  (1) keterlambatan skenario, (2) adanya interfensi ‘berlebihan’ dari produser, dan (3) yang lebih sering muncul, yaitu tingkah polah yang sama sekali tidak kondusif dari beberapa pemain yang merasa mempunyai hak-hak istimewa, dan (4) tingkat ketrampilan SDM.

  1. Keterlambatan skenario

Dalam kondisi kerja kejar tayang, keterlambatan skenario bukanlah hal yang aneh. Sekedar catatan pengalaman, saya pernah menerima naskah susulan sebanyak 50 halaman  jam 24:00 untuk penayangan malam berikutnya, jam 20:00. Artinya masih ada waktu yang tersisa sebanyak 20 jam. Sisa waktu itu masih harus berbagi dengan pekerjaan editing dan waktu perjalanan pulang pergi (mengantar materi shooting ke ruang editing yang berjarak lebih dari 20 km), waktu mengantar hasil akhir (materi penayangan) ke stasiun televisi tempat ditayangkannya sinetron tersebut. Dari kantor ada instruksi bahwa materi shooting harus selesai jam 08:00. Sebuah instruksi yang di luar akal sehat dan sama sekali tidak manusiawi. Itu berarti saya harus menyelesaikan sebuah naskah setebal 50 halaman dalam waktu 8 jam kerja. Karena ada dua tim yang mengerjakan, maka saya mendapat bagian kerja sebanyak 25 halaman. Sekarang mari kita berhitung dengan dibantu oleh pengetahuan matematika sangat sederhana. Saya punya target waktu menyelesaikan pekerjaan, 8 jam. Saya punya 25 halaman naskah. Kalau saya bekerja terus-menerus tanpa waktu jeda untuk makan/minum (kondisi ini biasanya diistilahkan dengan ‘rolling‘, yaitu sambil makan sambil bekerja), kecepatan kerja saya dalam satu jam haruslah: 25 : 8 x 1 halaman = 3,125 halaman. Sebagai perbandingan, kecepatan kerja yang normal dalam pekerjaan semacam ini rata-rata 1 sampai 2 halaman per jam (kondisi seperti ini adalah kondisi umum yang biasa dialami oleh semua produksi sejenis).

Dengan data-data diatas dapat dipastikan bahwa saya tidak dapat memenuhi instruksi dari kantor, karena untuk menaikkan speed kerja menjadi 2,5 hal per jam saja sudah merupakan beban sangat berat, apa lagi masih ada hal lain yang perlu waktu pula, yaitu waktu untuk membaca naskah, mempersiapkan properti, kostum, make-up, waktu untuk membangun set-set (walau pun sederhana), waktu perpindahan dari adegan yang satu ke adegan lainnya, belum lagi waktu yang terbuang karena menunggu kehadiran pemain. Mau tidak mau, harus ada penambahan waktu kerja sesuai dengan kapasitas kerja maksimal. Coba kita lihat, berapa jam kerja yang dibutuhkan bila kita naikkan kecepatan kerja kita menjadi rata-rata 2.5 halaman per jam; 25 : 2.5 x 1 jam = 10 jam kerja terhitung sejak kamera ‘on’. Lalu bagaimana kalau dalam skenario dibutuhkan efek-efek khusus seperti rumah terbakar, atau mobil terbalik atau yang lainnya yang memerlukan penanganan secara khusus? Bagaimana kalau ada satu di antara beberapa pemain tidak atau belum hadir di lokasi? Jawaban bijaknya cuma satu, yaitu: “pandai-pandailah mengatur waktu…”.

Dalam kondisi kejar tayang, sebuah skenario menjadi sangat penting artinya bagi keberlangsungan pekerjaan. Sebuah skenario harus sudah dianggap baik dan bersifat tetap, tidak berubah atau diubah, mengingat bahwa pekerjaan membuat sinetron stripping biasanya melibatkan minimal dua tim kerja dan biasanya tim-tim kerja itu bekerja di lokasi yang berbeda-beda. Apabila ada isi skenario yang dirubah secara sepihak tanpa adanya sistem komunikasi yang baik maka hal itu bisa saja berakibat pada kesinambungannya yang mungkin dikerjakan oleh tim yang lain. Sebuah skenario akan menjadi sebuah ‘buku pintar‘ dilapangan sebagai acuan kerja. Ketika membaca sebuah skenario, sudah harus bisa langsung dibayangkan apa yang akan terjadi dengan adegan yang akan dibuat, dan apa-apa saja yang dibutuhkan oleh sebuah adegan. Dilapangan sudah tidak dibutuhkan lagi diskusi-diskusi berkepanjangan mengenai apa yang harus dilakukan. Pokoknya dalam setiap jenis pekerjaan yang ada dalam tahapan ini harus dilaksanakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.

(Raditya Dika, penulis & sutrada film yang dikenal dikalangan anak muda)

  1. Interfensi ‘berlebihan‘ seorang produser

Disebut interfensi berlebihan seorang produser, karena sebenarnya ketika seorang produser menyarankan sesuatu untuk dilakukan dilapangan kepada sutradara, apakah itu penambahan adegan atau detail shot, atau apa pun, sebenarnya pada saat itu dia telah masuk kedalam wilayah kerja (profesi) orang lain yang secara etis bukan tak boleh dilakukan tapi sebaiknya dilakukan dengan mempertimbangkan etika profesi, yaitu bahwa ada komunikasi yang tujuannya untuk memperoleh hasil yang terbaik dengan diikuti oleh keikhlasan mendengarkan gagasan orang lain, kompromis. Artinya saling menghargai profesi masing-masing pribadi. Bukan tidak ada produser yang cenderung bersikap tidak kompromis (memaksakan kehendaknya), terutama mereka yang menganggap bahwa mereka yang lebih tahu masalah lebih mengerti soal teknis produksi, dan biasanya produser seperti ini adalah seorang yang arogan, yang merasa yakin bahwa kebenaran hanya ada pada mereka dengan alasan; skenario dan alur kisah utama secara keseluruhan ada pada kendali produser. Produser yang mahatahu tentang mau dibawa kemana cerita yang tengah mereka buat itu.

Saya juga pernah mengalami, sebagai sutradara, saya tidak pernah di-informasi-kan sedikit pun tentang perkembangan cerita dari hari ke hari termasuk ringkasan dari keseluruhan alur kisah dari awal sampai kisah itu selesai. Saya baru tahu alur cerita yang sebenarnya ketika membaca skenario yang saya terima di menit-menit terakhir sebelum shooting dimulai.

Ini bukan hal yang aneh. Di perusahaan-perusahaan tertentu, produser melakukannya tanpa ada kekhawatiran mengenai kualitas produk yang akan dihasilkan. Padahal dengan cara seperti ini, tidak jarang malah menimbulkan kesalahan-kesalahan fatal karena penafsiran yang salah akibat ketidak-tahuan seorang sutradara. Misalnya di skenario muncul seorang tokoh baru yang belum pernah diceritakan sebelumnya, dan dalam skenario tak ada deskripsi yang melengkapi keterangan tentang tokoh baru tersebut. Sikap yang harus diambil oleh sutradara dalam kondisi seperti ini adalah mencari informasi pelengkap tentang si tokoh baru tersebut. Kemana mencari informasi tersebut? Satu-satunya tempat mencari informasi adalah produser, karena sutradara tidak pernah tahu siapa sebenarnya penulis skenario. Aneh sekali kalau seorang sutradara tidak pernah mengetahui siapa yang menulis skenario dari serial sinetron yang sedang dibuatnya. Sebuah skenario diperlakukan sebagai sesuatu yang sifatnya “top secret“. Konon, hal itu dilakukan untuk menghindari pencurian ide dari pihak lain yang bermaksud jahat membajak isi skenario itu.

Tapi, kenapa cuma seorang produser yang  harus berperan sebagai ‘the only man who knows all perfectly“? Lalu apa fungsi pelaksana-pelaksana kreatif lainnya yang ada dalam lingkaran produksi itu? Ataukah memang mereka dipekerjakan hanya sebagai tenaga-tenaga lepas yang cuma mengikuti keinginan seorang yang lain? Disewa untuk menjadi robot-robot hidup yang harus mewujudkan keinginan pribadi orang lain yang merupakan ‘junjungan’-nya? Sebenarnya apa yang sedang terjadi dalam perkembangan ‘industri’ ini?

Ini cuma contoh kecil dari apa yang disebut interfensi berlebihan ‘seorang produser’, dimana produser menjadi satu-satunya orang yang mendesain sebuah produksi sehingga dia menjadi titik pusat sebuah sistem produksi.  Tidak menjadi masalah kalau produser tersebut memenuhi kualifikasi ‘par-excellent‘ sebagai seorang produser yang benar-benar profesional, dan sebaliknya, akan sangat bermasalah kalau dalam dirinya sama sekali tidak memiliki sikap-sikap profesional sejati. Sebab yang namanya sistem produksi, bukan cuma soal tata cara bayar-membayar belaka, bukan soal penguasaan teknis belaka, bukan juga cuma soal taste/cita-rasa belaka, akan tetapi di atas segalanya, ada sikap etis juga harus dimiliki oleh seorang profesional yang mau menghargai hak-hak profesional dari mereka yang sudah dibayarnya untuk tugas-tugas tertentu. Produser semacam itu cenderung akan menjadi seorang yang mengutamakan ‘ego’ nya dan tidak perduli dengan pendapat orang lain; ”kamu sudah dibayar dan sekarang saya minta supaya kamu buat seperti ini dan seperti itu,” dan bukan; “kamu sudah saya bayar secara pantas, karena itu pikirkan yang terbaik untuk saya sesuai dengan bidang keahlian kamu.”

(Mira Lesmana, salah satu produser & sutrada yang dikenal dengan totalitas-nya dalam berkarya)

  1. Para pemain dengan ‘hak-hak istimewa

Yang disebut sebagai pemain dengan hak istimewa adalah mereka yang cenderung tidak pernah bermasalah dengan produser, atau kalau toh bermasalah selalu akan ada toleransi yang sangat tinggi dari produser. Dan biasanya pula, apabila seorang pemain sudah menyadari dan merasa bahwa dalam dirinya ada yang ‘lebih‘ dibandingkan dengan pemain-pemain lain, segera akan terlihat perubahan-perubahan tingkah-laku dalam kehidupan profesional mereka. Bisa saja dia akan kelihatan terasing dari lingkungannya, tidak menyatu dengan pemain lain karena tempat istirahat (untuk sekedar tidur-tiduran atau mempersiapkan diri sebelum shooting seperti ganti kostum dan make-up) yang entah sengaja atau tidak memang berbeda (minimal, ruangan ber-AC), atau dia akan memperlihatkan (secara demonstratif) bahwa betapa sibuknya dia bekerja setiap hari sehingga harus berpindah-pindah lokasi shooting, atau kalau dengan kata-kata, orang akan dengan mudah menangkapnya sebagai pesan yang ingin dia sampaikan, yaitu; “..lihat. saya ini lagi capek, tapi saya tetap bekerja dan bekerja…” Itu semua hanyalah pernyataan profesional tapi tidak ada maknanya sama sekali karena dalam tindakan tidak pernah kelihatan nyata.

Ini semua erat hubungannya dengan sistem bintang yang masih dianut oleh para penentu produksi, stasiun televisi, produser dan pemasang iklan. Di sini, kekuatan ‘acting’ seorang pemain hanyalah salah satu dari beberapa prasyarat yang dibutuhkan seorang pemain yang diandalkan. Selain itu, penilaian terhadap seorang pemain juga tidak akan lepas dari penilaian subyektif (rasa senang atau tidak senang) seseorang, apakah dia produser atau para penentu lainnya.

Mungkin hal-hal inilah yang menyebabkan penonton sinetron nasional selalu hanya melihat pemain yang itu-itu saja tanpa ada alternatif pemain lain yang mungkin saja lebih ‘fresh’ atau mungkin saja mempunyai kemampuan yang lebih baik. Ada banyak sesi-sesi audisi yang dilakukan beberapa rumah produksi yang bisa melihat peluang-peluang tersebut, bahwa ada banyak pemain-pemain potensial, tapi sayangnya tidak banyak produser yang mau memberi kesempatan kepada mereka karena adanya kriteria-kriteria seorang ‘star‘ dan unsur ‘like and dislike‘.

Biasanya waktu kerja untuk pemain sekelas ini (dengan hak-hak istimewa itu) sangat terbatas, misalnya 6 jam kerja dalam satu hari. Oleh sebab itu selalu harus disiapkan pemain pengganti (‘stand-in‘) di saat pemain utamanya tidak berada di set pada saat shooting berlangsung. Karena secara fisik berbeda, maka sudut pengambilan untuk pemain pengganti pun menjadi sangat terbatas, atau hanya di ambil dari jarak yang cukup aman agar tidak dikenali sebagai pemain yang digantikannya. Pemain utama (yang asli) hanya di shoot close-up-nya saja.

Kalau bicara tentang profesionalisme, maka pemain dengan tipe tingkah-laku seperti ini sama sekali tidak menunjukkan tingkat profesionalisme yang baik. Profesionalisme dalam penafsiran mereka hanya sebatas seberapa banyak pekerjaan yang sedang mereka garap dan bukan seberapa besar tanggung-jawab yang tumbuh dalam diri mereka atas setiap pekerjaan yang sedang mereka lakukan. Disiplin kerja bagi mereka adalah menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan rencana kerja sesuai kesepakatan waktu sebelumnya. Penyesuaian waktu kerja bagi mereka tetap harus di atur sesuai dengan kepentingan mereka dan mengabaikan kepentingan orang lain.

(Diandra Paramita Sastrowardoyo, salah satu aktris populer dengan pesona yang tak terbantahkan)

  1. Ketrampilan SDM

Kelancaran kerja akan berkaitan erat dengan tingkat pengetahuan dan ketrampilan orang-orang yang mengerjakannya. Semakin trampil seseorang dalam bidang pekerjaannya, maka dia punya kesempatan yang besar untuk menyelesaikan pekerjaan dengan cepat.. Mengerjakan sinetron serial (stripping) akan berbeda dengan membuat sebuah FTV (Film untuk televisi) atau serial biasa (weekly, seminggu sekali penayangan). Dia menjadi lain, karena tingkat kecepatan kerjanya yang sangat tinggi yang tentu membutuhkan orang-orang yang mengerti betul seluk-beluk pembuatan sebuah sinetron. Akan sulit untuk menangani masalah-masalah tekhnis dilapangan apabila seorang pekerja tidak memiliki dasar-dasar, entah pengalaman atau pendidikan formal mengenai pembuatan sebuah sinetron sstripping. Mereka tidak akan pernah punya kelebihan waktu untuk proses belajar-mengajar. Seharusnyalah mereka adalah tenaga-tenaga yang siap pakai. Berdasarkan alasan itulah maka biasanya, para pekerja (crew) yang direkrut oleh para pemborong adalah mereka yang sudah biasa bergabung dalam tim-tim kerja dalam proyek sebelumnya. Pengetahuan praktis mereka tak bisa dianggap remeh. Intuisi mereka bekerja dengan tajam dan terkesan trampil dalam menghadapi masalah-masalah praktis.

Walau pun tidak pernah mengenyam pendidikan formal, tapi karena mengikuti produksi secara intensif dan rutin (misalnya ada yang mengikuti sebuah serial stripping sebanyak 300 episode, dilanjutkan dengan yang 20 episode, kemudian bergabung lagi dalam pengerjaan sebuah judul berjumlah 100 episode) maka pengalaman mengajarkan banyak hal kepada mereka.

Tapi ketrampilan yang diperoleh dengan pengalaman tanpa diimbangi oleh rasa ingin tahu akan membuat seseorang menjadi mandek.  Sebab rasa ingin tahu akan membuat seseorang tidak pernah berhenti untuk belajar. Seorang yang sekedar trampil akan mengulang-ulang pengalamannya pada pekerjaan-pekerjaan berikutnya sehingga hasil kerjanya hanya akan merupakan pengulangan-pengulangan dari apa yang pernah dilakukan sebelumnya. Dalam industri kreatif hal semacam itu tidak akan ada manfaatnya sama sekali, karena yang dibutuhkan adalah sesuatu yang baru, yang berbeda. Untuk bisa berbeda, seseorang harus menciptakan hal-hal yang belum pernah dilakukan orang sebelumnya. Sebab itu jangan pernah berhenti untuk mencoba hal-hal yang baru.

(Apapun yang terjadi, jangan pernah menyerah)

sumber: CH