Shade of Justice – an Insight to Film Maker

Kita sudah melihat beberapa hambatan yang ada dalam proses produksi. Hal seperti itu bisa terjadi akibat tak adanya suatu perencanaan yang baik dan terarah sehingga segala sesuatu yang dilakukan terkesan serba improvisasi atau mengupayakan akal-akalan operasional, yang penting selesai. Jelas dengan cara kerja seperti itu kita tak dapat berharap akan memperoleh sebuah produk yang baik apalagi berkualitas.

Kekurangan waktu bisa saja menjadi alasan untuk dijadikan kambing hitam penyebab merosotnya kualitas sinetron kita. Tapi mengapa sampai kekurangan waktu? Itulah yang seharusnya ditelusuri. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, shooting secara intensif biasanya baru dilakukan pada saat produser yakin tentang adanya kepastian waktu penayangan. Wajar-wajar saja bila produser tidak mau ambil resiko dengan membuat banyak episode yang belum jelas waktu tayangnya. Tapi, dengan bersikap begitu, berarti terjadi kehilangan waktu produktif di mana pada waktu tersebut dapat di susun beberapa skenario yang menjadi bahan utnuk merancang jalannya sebuah produksi yang terencana dengan baik dalam sebuah desain produksi. Ketika tiba pada tahap shooting, sudah ada sebuah peta jalannya produksi yang rapih dan semua yang terlibat dalam pekerjaan di tahap produksi sudah memiliki acuan atau pedoman kerja yang memadai. Selama ini proses kerja dalam tahap produksi terkesan ber-improvisasi karena ketiadaan rencana kerja yang memadai, tak ada yang dilakukan untuk mendesain sebuah produksi pada tahap pra-produksi. Dan yang lebih celaka lagi, kesalahan-kesalahan produksi akan selalu cenderung mengarah pada pelaksana produksi karena merekalah yang dianggap paling bertanggung jawab pada tahap shooting. Padahal sumber kerapuhan ada pada saat perencanaan yang tidak mempersiapkan sebuah produksi berjalan dengan semestinya. Inilah gambaran sistem manajemen produksi kita yang terlalu menganggap enteng sebuah proses. Sepanjang kinerja dalam produksi kita mengabaikan hal tersebut, jangan berharap banyak pada sinetron-sinetron kita. Sinetron-sinetron kita akan tetap seperti yang terlihat sekarang ini; serba gampangan, sama dengan masa persiapannya yang menggampangkan segala-galanya.

(AADC, salah satu sinetron yang menandai kebangkitan kembali dunia perfilman Indonesia)

Saya pikir, apabila ada sedikit saja upaya mendisiplinkan diri dalam melaksanakan manajemen produksi yang benar maka tidak tertutup kemungkinan produk-produk nasional kita akan bisa menyaingi produk-produk luar yang kini hanya menjadi trend untuk di tiru, di sadur atau sekedar di cuplik dari potongan-potongan adegan yang dianggap menarik oleh kebanyakan sinetron lokal tanpa ada rasa malu.

Kejar tayang adalah sebuah kondisi, sebuah akibat dari ketidakmampuan menjalankan roda produksi. Sebuah kondisi yang benar-benar buruk, tapi aneh, selalu saja terjadi berulang-ulang dan sebagian orang malah akan merasa bangga berada dalam kondisi tersebut. Dugaan (kuat) yang muncul kemudian adalah memang sebuah produk sinetron serial (stripping) direncanakan untuk selalu berada dalam kondisi kejar tayang. Alasannya sederhana saja, para perancang produksi yang ada di belakang produk tersebut butuh waktu untuk memantau hasil rating sehingga mereka bisa mengetahui perkembangan minat pemirsanya melalui pooling rating. Begitu mengenali tingkat perhatian penonton (misalnya, di laporan rating tertera bahwa di jam sekian, menit sekian, detik sekian, pada adegan aksi pesinden cantik menggoyang-goyangkan bokongnya, di situ tercatat ada peningkatan jumlah pemirsa) mereka buru-buru membenahi skenario, menambah adegan pesinden cantik tersebut dengan harapan bisa mendongkrak naik perolehan rating produk mereka yang cenderung merosot. Hal seperti inilah yang juga menjadi penyebab mengapa skenario selalu terlambat sampai ke tangan para pelaksana produksi dilapangan dan juga memungkinkan orang menonton sebuah cerita sinetron yang meloncat kesana-kemari tanpa ada kesinambungannya.

Hal negatif lain dari kondisi kejar tayang yang lain adalah menyangkut dengan rasa keadilan. Kita bisa melihat dan merasakannya dengan sangat jelas dalam bentuk-bentuk perilaku tertentu. Misalnya, tidak jarang terjadi seorang asisten sutradara sibuk mencari-cari seorang pemain pengganti (stand-in) yang tiba-tiba menghilang dari lokasi shooting. Ternyata si stand-in sudah pulang karena merasa bahwa dia bekerja lebih keras dari pada pemain yang digantikannya, dia harus berguling-guling dalam lumpur, dia harus jatuh-bangun karena disiksa atau (maaf) dia yang harus bertelanjang dada, dia harus rela menunggu dengan waktu yang tak terhingga, sampai pekerjaannya selesai. Sementara pemain yang digantikannya hanya datang beberapa jam, selesai lalu pulang. Di samping itu kalau mau dihitung penghasilan, honor yang didapatnya sangat-sangat-sangat jauh dibanding pemain utama yang digantikannya. Di samping itu, perlakuan yang diterimanya tentu akan berbeda pula dibandingkan perlakuan terhadap pemain utama, dalam ungkapan sinis bisa disebut sebagai; ‘beda kasta‘. Misalnya kemarahan yang didapatnya akibat keterlambatan tiba di lokasi akan berbeda dengan ‘kemarahan bijak’ yang diperolah pemain utama, misalnya; “… oh, nggak apa-apa, belum terlambat… kita masih ngerjakan yang lain, kok… istirahat aja dulu...: kalimat ini disuguhkan dengan kelembutan walau pun suasana hati seperti lagi dilindas truk tronton. Salah seorang teman saya yang termasuk golongan sutradara senior cuma bisa bilang, “…that’s life…” dalam hidup selalu saja mesti ada korban atau yang dikorbankan. Mungkin karena sudah pasrah pada keadaan yang seakan tak bisa diluruskan lagi sehingga jawaban yang muncul pun bernada pasrah.

(proses syuting dimalam hari)

Bagaimana kalau yang terjadi adalah sebaliknya? Misalnya karena tegas, seorang asisten sutradara menegur pemain (yang punya hak-hak istimewa tentunya) atas keterlambatan si pemain tiba di lokasi atau mungkin kesalahan lainnya. Bisa dipastikan bahwa dalam hitungan menit, si asisten sutradara akan memakan buah dari sikap tegasnya itu, dia akan kena teguran keras dari ‘boss’, bahkan mungkin saja hal terburuk bisa terjadi atas dirinya apabila ternyata dia sering bersikap ‘tegas’ seperti itu ; bisa-bisa dia dikeluarkan dari daftar crew tanpa ada yang bisa membelanya. Prinsip “you strong you go on… you weak you leave it...”  adalah hukum standard yang mirip sekali dengan hukum rimba yang umumnya berlaku dalam dunia kerja ini. Begitu umumnya sampai-sampai orang tak bisa membedakan benarkah atau salahkah?

Seperti biasanya bahwa posisi para pekerja (crew) dalam sebuah produksi tidak sekuat para pemain. Dalam pandangan produser, crew tidak punya nilai jual dan stasiun televisi tidak pernah mempersyaratkan crew yang harus mengerjakan sebuah pekerjaan. Seorang pemain, apalagi mereka yang merupakan ‘pesanan’ sebuah stasiun televisi, menjadi penting artinya bagi produser yang berorientasi ekonomi. Tidak pernah ada pihak yang memperhitungkan aset para pekerja, skill atau kemampuan. Kalau memperhitungkan saja sudah tidak sanggup, lalu kenapa harus capek-capek menghargai seseorang?

Hal menyedihkan di atas tadi sangat mungkin terjadi bila dikaitkan juga dengan adanya persaingan memperoleh kesempatan kerja. Ada begitu banyak tenaga kerja sementara lahan pekerjaan begitu terbatas. Para penentu (produser) akan dengan mudah menyingkirkan dan dengan mudah pula mendapatkan gantinya. Bagaimana legalitas ‘pemecatan‘ dengan modus seperti itu? Secara formal tentu bisa di perkarakan. Karena seorang produser tidak berhak secara langsung mengeluarkan crew yang tidak disenanginya. Seorang crew tidak dikontrak oleh si produser, tapi oleh seorang pemborong. Jadi, kalau mau mempersoalkan hal-hal yang tidak ber-keadil-an seperti ini seharusnya bisa saja, tapi karena biasanya para pekerja tidak punya pemahaman yang memadai soal hukum, maka tak pernah ada kasus-kasus pelanggaran tersebut mencuat kepermukaan. Lagi pula para pekerja kecil dan lemah itu lebih memusatkan perhatian mereka untuk bisa mendapatkan pekerjaan di tempat lain ketimbang harus memikirkan masalah-masalah hukum yang tidak ada hubungannya secara langsung dengan masalah perut dan keluarga mereka di rumah. Cuma buang-buang waktu dan tenaga yang malah akan menelantarkan kehidupan mereka yang memang sudah sulit itu.

(Apapun yang terjadi, jangan pernah menyerah)